Persiapan kepulangan ini sukses membuatku agak tertekan. Mulai dari masalah biaya, bagasi, rumah yang ditinggalkan, hingga para barang yang dijual pun semuanya terasa mencemaskan.
Terutama, aku merasa berat meninggalkan tanah para nabi ini, karena seorang buah hati tercinta kami juga terpendam di bumi bagian sini. Memang terpisah antara dunia itu berat. Aku selalu mengaku bahwa aku ikhlas, tapi tetap saja, ada secuil bagian dalam hati ini yang ternyata berat, takut menjauh dari tempat disemayamkan jasadnya sang bayi. Padahal, perpisahan mana yang lebih jauh, selain berpisah antara dua dunia?
Tiba-tiba aku tersadar. Bahwa barulah akhir-akhir ini Utsman mulai dekat denganku. Dan aku juga tersadar, bahwa kelebayan abinda itu sangat wajar.
Mungkin di satu sisi aku berhasil self healing dengan menulis. Sedangkan abinda masih berkutat dengan rasa parno, bersalah dan takutnya. Masalahnya bukan hanya di penyembuhan, tapi juga pada masalah awalnya, sakit dan pedih yang dirasakan abinda, jelas jauh berbeda dengan yang kurasakan.
Abinda yang mengurus almarhum Ghazi semuanya, dari masuk ke rumah sakit, hingga mengantarkan ke kuburan. Semua ia rasakan. Dingin badan kaku Ghazi mungkin masih ia ingat betul rasanya.
Berbeda dengan aku yang masih lemah usai operasi, dan harus menjaga bayi yang masih ada, Utsman, sehingga belum bisa ikut dalam pengurusan jenazahnya.
Setelahnya pun aku dengan dalih menghindar dari baby blues dan fokus pemulihan, menyerahkan Utsman sepenuhnya pada ummi abiku juga abinda. Mungkin disitu juga yang membuat aku sembuh lebih cepat.
Abinda, belumlah luka dan lelahnya sembuh, sudah harus mengurus bayi yang ia tak tahu harus apa.
Aku yang merasa tahu, menyerahkan semuanya pada Abinda dengan berbagai intruksi. Ketika abinda bisa melakukannya, aku pun meninggalkan.
Hiks.
Konklusinya; kita tidak tahu apa yang orang lain alami dan rasakan. Bahkan dari satu kejadian yang sama. Dan sedikit empati akan sangat membantu, baik diri kita ataupun orang lain.
Selamat malam Kairo, 23.03, Rabu 14 Oktober 2020.