Jadii aku lagi galau pol, merasa bersalah, merasa gagal, merasa tidak adil, dan mempertanyakan terus-terusan; sebenarnya apa yang terpenting dalam hidupku?
Dulu, Utsman bisa mendapat kesempatan bersamaku 24*7*3 tahun lebih bersamaku. Hampir nggak pernah pisah. Tapi berbeda dengan Usamah, di usia 3 bulan kami harus berpisah selama 9 jam dalam sehari karena aku sekarang sudah kerja kantoran.
Kantor sendiri sihh, tapi kalau bawa dia ya nggak jadi kerja. Kalau dia ada di rumah, meski diasuh orang lain, ya apa aku bisa konsen kerja juga? Sudah dicoba beberapa kali ternyata sulit. Best choice yang bisa kita ambil adalah, menitipkannya di daycare yang kami harap amanah.
Kilas balik bersama Utsman, jujur meski bersama selalu, aku merasa attachment dengannya kurang. Aku tidak merasa dekat dengannya. Aku merasa kelekatan di antara kami kurang. Nope, bukan terlalu nempel sampai gak mau pisah yaa karena itu justru tanda anak insecure dengan diri dan lingkungan. Alhamdulillah Utsman nggak gitu. Tapi aku merasa belum hadir secara utuh ketika membersamai Utsman.
Memang, kala itu aku didiagnosa depresi sedang dan tidak menyelesaikan pengobatan karena terkendala biaya. Aku selalu lari dari kejadian yang tak mau kuingat, dan pelarianku adalah hp. Menyibukkan diri dengan hp, entah apalah buka sembarang pokoknya jangan sampai aku bengong. Karena ketika bengong, rasa takut itu muncul lagi. Sedih, rasa bersalah, bahkan mungkin menyalahkan takdir (tanpa kusadari), muncul menyeruak. Padahal, di hadapanku ada Utsman, yang berhak mendapatkan hadirku secara utuh. Iya, hadir secara fisik. Tapi jiwaku berkelana, denial, lari dari kenyataan.
Meski kusyukuri, Utsman tetap mencari nyaman dariku sebagai ibunya, tapi aku khawatir Usamah mendapatkan jauh lebih sedikit dari Utsman. Utsman yang banyak barengnya aja aku merasa kurang attachment (dengan berbagai faktor itu yah), gimana dengan adek yang bersama secara fisik saja jauh lebih sedikit???
Tapi, aku tidak bisa memilih antara adek atau umi dan abi. Aku bekerja, bukan sekadar soal uang; tanpa bekerja pun aku sudah cukup dengan nafkah dari abinda dan nyambi-nyambi jualan buku se-mood-nya. Tapi, bekerja ini mempersembahkan bakti dalam bentuk tenaga dan waktu pada umi dan abi. Ikut membangun dan mempersiapkan estafet medan dan senjata dakwah besar bernama perusahaan. Aku nggak bisa menjadi orang yang perhatian dan hangat, aku belum bisa. Uang? Sungguh aku jauh lebih dhuafa dibandingkan umi abi wkwkwk. Karena itu, aku cuma bisa mempersembahkan baktiku lewat ini.
Jadii tidak ada opsi resign. Aku pun senang bekerja, tidak pernah ada bosan sepanjang 4 bulan bekerja. Tidak ada keterpaksaan sama sekali. Aku pun menikmati segala dinamikanya. Waktu awal bekerja, Utsman sempat sering sakit. Bahkan di bulan pertama, dia masuk rumah sakit dongg, tapi abinda pun tidak menawarkan opsi resign sama sekali.
Untuk adek pun keputusan sudah bulat, di daycare yang kami cocok dengan pengasuhnya, kurikulumnya, dan tempatnya. Meski tidak 100% ideal, tapi tempat itu yang paling menyamankan hati kami.
Dan kini saatnya belanja besar; dari cooler bag sampai clodi untuk persiapan sekolah si adek.
Okelah, secara material mah gampang ya. Tinggal checkout ajaa.
Yang kutakut adalah, aku tidak punya keterikatan dengan Usamah. Meski tetap asi ku yang dia minum, tetap malam pun tidur bersamaku, tapi waktu yang terbatas sunggug menggalaukanku.
Daann akhirnya aku ikut kelas memijat bayi, dan benar-benar mindblowing sihh. Dulu aku takut banget banget pijat bayi, padahal cuma elus-elus lhoo tapi se gak berani itu. Aku berharap, aku yang nggak pinter mengungkap sayang ini bisa menyalurkan kehangatan cinta lewat sentuhan.
Bismillah, ya Allah, jaga kami selalu dalam taat pada-Mu ya Rabb ðŸ˜. Jaga niat dan arah kami hanya tuk ridho-Mu ya Rabb 🥺.